Sabtu, 30 Maret 2013

ALI BIN ABI THALIB PADA MASA KECIL DAN MASUK ISLAM


Di antara sekian banyak sahabat Nabi, hanya Ali bin Abi Thalib-lah yang diberikan sebutan karamallahu wajhah; sebuah sebutan yang juga berarti doa “Semoga Allah memuliakan wajahnya” atau “Allah telah memuliakan wajahnya.” Semua ulama sepakat bahwa doa itu hanya dikhususkan untuk Imam Ali saja seperti halnya sebutan shalallahu ‘alaihi wa alihi wassalam untuk Nabi Muhammad. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan hal ini. Salah satu riwayat di antaranya menjelaskan alasan tentang doa itu

Pertama, di antara semua sahabat Nabi saw, hanya Ali bin Abi Thalib yang tidak pernah menyembah berhala. Dia masuk Islam dalam usia yang masih kecil sehingga tak sempat beribadat kepada berhala. Artinya, wajahnya tak pernah disujudkan kepada berhala.Ali kecil langsung sujud kepada Allah swt.

Alasan kedua, Imam Ali adalah orang yang dikenal tak pernah melihat aurat, baik aurat dirinya sendiri maupun aurat orang lain. Dalam sebuah pertemuan di Shiffin, pasukan Imam Ali bertemu dengan pasukan Muawiyah. Sebelum perang berkecamuk, biasanya diadakan mubarazah atau duel antara dua orang yang mewakili pasukan yang akan bertempur. Imam Ali menantang Muawiyah ber-mubarazah namun Muawiyah tak berani dan Amr bin Ash menggantikannya. Dalam duel itu, Amr terdesak dan mengalami kekalahan.Ketika Imam Ali hendak memukulkan pedangnya ke kepala Amr, Amr lalu membuka auratnya sehingga Imam Ali segera berbalik memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amr.Karena Imam Ali tak mau melihat aurat, selamatlah Amr.

Semasa hidupnya, Imam Ali dikenal sebagai seorang pria yang gagah dan tampan.Banyak hadis yang meriwayatkan Imam Ali memiliki kepala yang agak botak sehingga orang yang tak senang pada Imam Ali memberikan julukan ashla yang berarti “Si Botak”.Umar bin Khattab pernah berkata, “Sekiranya tak ada si ashla, celakalah Umar!” Ketika banyak sahabat lain mengecam Imam Ali dengan memberikan julukan ashla, Rasulullah saw berkata, “Janganlah kalian mengecam Ali karena ia sudah tenggelam dalam kecintaan kepada Allah.”

Imam Ali sering menjadi fana atau larut dalam kecintaannya kepada Allah.Pernah suatu hari, Abu Darda menemukan Ali terbujur kaku di atas tanah seperti sebongkah kayu di sebuah kebun kurma milik seorang penduduk Mekkah. Dengan tergopoh-gopoh, Abu Darda mendatangi Fathimah untuk berbelasungkawa, karena ia mengira Ali telah meninggal dunia. Fathimah hanya berkata, “Sepupuku, Ali, tidak mati melainkan ia pingsan karena fana dalam ketakutannya kepada Allah.Ketahuilah, kejadian itu sering menimpanya.”

Bagi Imam Ali, salat tidak merupakan peristiwa biasa namun adalah pertemuan agung dengan Allah swt. Imam Al-Ghazali mengisahkan hal ini dalam kitab Ihya Ulumuddin:

Suatu hari, menjelang waktu salat, seorang sahabat menemukan Imam Ali dalam keadaan tubuh yang berguncang dan wajah yang pucat pasi. Ia bertanya, “Apa yang telah terjadi, wahai Amirul Mukminin?” Imam Ali menjawab, “Telah datang waktu salat.Inilah amanat yang pernah diberikan Allah kepada langit, bumi, dan gunung tetapi mereka menolak untuk memikulnya dan berguncang dahsyat karenanya.Sekarang, aku harus memikulnya.”

Dengan sikapnya itu, Imam Ali ingin mengajarkan sahabatnya bahwa salat bukanlah kejadian biasa.Salat adalah amanat yang di dalamnya mengandung perjanjian mulia antara seorang hamba dengan Tuhannya.Alangkah anehnya bila kita masih belum merasakan kekhusyukan itu di dalam salat kita.Tuhan berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang mukmin itu; yaitu mereka yang khusyuk di dalam salatnya.” (QS. Al-Mukminun; 1)

Imam Ali juga dikenal karena salatnya yang khusyuk. Banyak sahabat yang memuji salat Ali sebagai salat yang mirip dengan salat Rasulullah saw. Puluhan tahun sejak kematian Rasulullah, seorang sahabat bernama ‘Umran bin Husain, salat di belakang Imam Ali di Basrah. ‘Umran berkata, “Lelaki itu mengingatkan aku pada salat yang dilakukan Rasulullah saw.” ‘Umran terkesan akan salat Ali bukan karena gerakan-gerakan lahiriahnya melainkan karena kekhusyukannya.

Ibn Abi Al-Hadid, seorang tokoh Muktazilah, bercerita tentang ibadat Imam Ali. Ia menyebutkan Ali sebagai orang yang paling taat beribadat dan yang paling banyak salat dan puasanya sehingga dari Ali-lah orang banyak belajar tentang salat malam. Selain itu, Ali senantiasa melazimkan wirid dan menunaikan ibadat-ibadat nafilah. “Dalam Perang Shiffin,” Al-Hadid bercerita, “di tengah-tengah perang yang berkecamuk, Ali masih mendirikan salat. Sesudah salat, ia membaca wirid. Dalam kesibukan perangnya, ia tak meninggalkan wiridnya padahal anak panah melintas di antara kedua belah tangan dan di antara kedua daun telinganya.”

Banyak hadis meriwayatkan kehidupan Imam Ali yang teramat sederhana.Ali bekerja keras membanting tulang untuk nafkah keluarganya. Istrinya, Fathimah, setiap hari menggiling gandum sampai melepuh tangannya. Suatu saat, setelah memenangkan sebuah peperangan, kaum muslimin memiliki banyak tawanan perang.Fathimah berkata pada Ali, “Bagaimana jika kita meminta salah seorang tawanan kepada Rasulullah untuk menjadi pembantu kita?”Ali enggan menyampaikan permohonan ini pada Rasulullah karena merasa sangat malu.Ia meminta Fathimah-lah yang memintakan hal itu. Pergilah Fathimah menemui Rasulullah saw. Begitu ia berada di hadapan Nabi yang mulia, Fathimah tak kuasa menyampaikan maksudnya. Ia pulang lagi ke rumahnya. Imam Ali lalu pergi untuk menyampaikan hal itu dan ia pun tak kuasa mengutarakan keinginan itu dan kembali lagi. Akhirnya keduanya memutuskan untuk pergi bersama-sama ke tempat Rasulullah.Disampaikanlah hajat itu tapi Rasulullah tak menjawab permintaan mereka. Keduanya pulang dengan perasaan malu dan takut akan kemurkaan Rasulullah.

Malam harinya Nabi datang ke rumah Ali.Nabi menyaksikan Ali hanya berselimutkan sarung yang amat pendek padahal malam teramat dingin.Jika selimut itu ditarik ke atas, terbukalah bagian bawah dan jika selimut itu ditarik ke bawah, terbukalah bagian atas.Rasulullah terharu melihat kesederhanaan Ali.Ia berkata kepada keluarga mulia itu, “Maukah kalian aku berikan pembantu yang lebih baik dari seluruh isi langit dan bumi?” Rasulullah saw kemudian memberikan wirid untuk dibacakan oleh keluarganya itu seusai salat. Wirid itu berisi 33 kali tasbih, tahmid, dan takbir. Begitu setianya Imam Ali dengan wiridnya itu, ia tak pernah meninggalkannya bahkan saat perang sekali pun. Ia melazimkannya dalam setiap keadaan.

Di masa kekuasaan Muawiyah, karena kebencian Muawiyah yang teramat sangat kepada Imam Ali, para khatib Jumat diperintahkan untuk mengakhiri setiap khutbahnya dengan kecaman kepada Ali.Cacian dan makian ini berlangsung selama hampir puluhan tahun. Ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa, perintah ini dihapuskan. Namun meskipun Muawiyah begitu membenci Ali, ia harus mengakui keutamaan sifat-sifat Ali. Suatu saat, Darar bin Dhamrah Al-Khazani diminta Muawiyah untuk bercerita tentang Imam Ali kw. Ia tak mau memenuhi permintaan itu. Ia takut, bila ia menceritakan keadaan Ali apa adanya, ia akan dianggap sebagai orang yang mengutamakan Ali, dan ia akan dihukum. Oleh sebab itu Darar hanya berkata, “Ampunilah aku, wahai Amirul Mukminin!Jangan perintahkan aku untuk mengungkapkan hal itu.Perintahkan aku untuk melakukan hal lain saja.”

“Tidak,” ujar Muawiyah, “aku takkan mengampunimu.”Akhirnya Darar bercerita tentang Ali dalam bahasa Arab yang teramat indah. Terjemahannya sebagai berikut:

“Ali adalah seorang yang cerdik cendekia dan gagah perkasa. Ia berbicara dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari kedalaman dirinya dan hikmah keluar dari sela-sela ucapannya.Ia mengasingkan diri dari dunia dengan segala keindahannya untuk kemudian bertemankan malam dengan seluruh kegelapannya, di sisi Allah. Air matanya senantiasa mengalir dan hatinya selalu tenggelam dalam pikiran.Ia sering membolak-balikkan tangannya dan berdialog dengan dirinya. Ia senang dengan pakaian yang sederhana dan makanan yang keras.”




“Demi Allah, ia dekat kepada kami dan kami senang berdekatan dengannya.Ia menjawab bila kami bertanya. Namun betapa pun ia dekat dengan kami, kami tak sanggup menegurnya karena kewibawaannya. Jika tersenyum, giginya tampak bagai untaian mutiara.Ia memuliakan para ahli agama dan mencintai orang miskin. Orang kuat tak berdaya di hadapannya karena keadilannya sementara orang yang lemah tak putus asa di sisinya.”

“Aku bersaksi demi Allah, aku sering melihatnya berada di mihrab pada sebagian tempat ibadatnya. Malam telah menurunkan tirainya dan gemintang tak tenggelam, saat itu ia memegang janggutnya dan merintih dengan rintihan orang yang sakit. Ia menangis dengan tangisan orang yang menderita. Seakan-akan kudengar jeritannya Ya Rabbana, ya Rabbana.....”

“Ia menggigil di hadapan kekasihnya. Kepada dunia, ia berkata: Kepadaku kau datang mencumbu. Kepadaku kau merayu. Enyahlah dan pergi! Tipulah orang selain aku.Aku telah menjatuhkan talak tiga kepadamu.Usiamu pendek, posisimu rendah.Betapa sedikitnya bekal dan betapa jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya perantauan.”

Muawiyah mendengar Darar yang bercerita dengan penuh perasaan. Meskipun ia amat membenci Ali, tapi ia tak kuasa menahan tangisan begitu mendengar penuturan Darar. Pada kesempatan lain, Darar pernah ditanya, “Bagaimana kerinduanmu kepada Ali?” Darar menjawab, “Aku rindu kepadanya seperti kerinduan seorang perempuan yang kekasihnya disembelih di pangkuannya.Air matanya takkan pernah kering, dukanya panjang dan takkan pernah usai.”

Imam Ali selalu mengisi malamnya dengan tangisan dan orang-orang yang mengenalnya akan mengisi kisah Ali dengan tangisan pula. Dalam tasawuf, menangis termasuk salah satu hal yang harus dilatih.Imam Ali berkata, “Salah satu ciri orang yang celaka adalah ia yang memiliki hati yang keras.Dan ciri hati yang keras adalah hati yang sukar menangis.”

Nabi saw bersabda, “Jika engkau membaca Al-Qur’an, mengislah. Jika tidak bias, berusahalah agar engkau menangis.” Pada salah satu doanya yang teramat indah, Imam Ali memohon:

“Tuhanku, berilah daku kesempurnaan ikatan kepada-Mu. Sinarilah bashirah hati kami dengan cahaya karena melihat-Mu sehingga kalbu kami menorehkan tirai cahaya dan sampailah ia pada sumber kebesaran; arwah kami terikat pada keagungan kesucian-Mu. Air mata tidak mongering kecuali karena hati yang keras dan hati takkan keras kecuali karena banyaknya doa.”
sumber : jianfelisia.blogspot.com

Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar Ash-Shiddiq (632-634 M) Sang Pembela Rasulullah

Abu Bakar termasuk pelopor kaum Muslimin pertama, As-Sabiqunal Awwalun, para pendahulu. Ia adalah orang yang memercayai Rasulullah di saat banyak orang menganggap beliau gila. Abu Bakar termasuk orang yang siap mengorbankan nyawanya, di saat banyak orang hendak membunuh Rasulullah.

Nama awal Abu Bakar adalah Abdullah bin Abu Quhafah. Dalam lembaran sejarah disebutkan nama ayahnya adalah Abu Quhafah. Ini pun bukan nama sebenarnya. Utsman bin Amir demikian nama lain dari Abu Quhafah. Abu Bakar lahir pada 573 Masehi, lebih muda sekitar tiga tahun dari Nabi Muhammad.

Sebelum masuk Islam, ia dipanggil dengan sebutan Abdul Ka’bah. Ada cerita menarik tentang nama ini. Ummul Khair, ibunda Abu Bakar sebelumnya beberapa kali melahirkan anak laki-laki. Namun setiap kali melahirkan anak laki-laki, setiap kali pula mereka meninggal. Sampai kemudian ia bernazar akan memberikan anak laki-lakinya yang hidup untuk mengabdi pad Ka’bah. Dan lahirlah Abu Bakar.

Setelah Abu Bakar lahir dan besar ia diberi nama lain; Atiq. Nama ini diambil dari nama lain Ka’bah, Baitul Atiq yang berarti rumah purba. Setelah masuk Islam, Rasulullah memanggilnya dengan sebutan Abdullah. Nama Abu Bakar sendiri konon berasal dari predikat pelopor dalam Islam. Bakar berarti dini atau awal.

Suatu hari Abu Bakar ingin berangkat berdagang ke wilayah Thaif bersama rekan bisnisnya, Hakim bin Hizam—keponakan Khadijah. Tiba-tiba sesorang datang menemuinya. Orang itu berkata kepada Hakim, “Bibimu Khadijah mengaku suaminya menjadi nabi sebagaimana Musa. Ia sungguh telah mengabaikan tuhan-tuhan.”

Selanjutnya Abu Bakar berpikir. Ia orang yang paling mengerti tentang Muhammad Saw. Sebelum sesuatu terjadi, ia harus menemui beliau untuk memastikan berita tersebut. Setelah itu barulah ia akan menentukan sikap.

Abu Bakar mendatangi Rasulullah Saw. Ia berusaha mengingat kembali semua kisah tentang sahabatnya itu. Ia yakin, sahabatnya tidaklah seperti orang-orang Quraisy kebanyakan. Sahabatnya bukanlah orang yang mengagungkan berhala-berhala yang disembah oleh orang-orang Quraisy. Di masa mudanya tidak ada sifat kekanak-kanakan seperti halnya pemuda-pemuda Quraisy dan ia mempunyai kebiasaan yang sangat berbeda dengan kaumnya. Setiap tahun, ia menyendiri di Gua Hira selama sebulan penuh.

Semua gambaran dan bayangan itu bergelayut dalam ingatan Abu Bakar. Ia mempercepat langkah untuk segera mengetahui kebenaran dari mulut sahabatnya langsung. Lalu muncul dalam ingatan Abu Bakar tentang keberkahan yang dialami kaum Bani Sa’ad saat Halimah As-Sa’diyah mengambil beliau dalam susuannya menuju kampungnya. Abu Bakar juga mengingat ulang pembicaraan Bukhaira, seorang pendeta yang mengingatkan paman beliau Abu Thalib dari tipu daya Yahudi apabila mereka mengetahui tentang anak kecil yang dibawanya.

Akhirnya Abu Bakar sampai juga di rumah Muhammad Saw. Ia masuk menemui sahabatnya dan langsung bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi dengan berita yang telah aku dengar tentangmu? Apakah engkau mengira kaummu mengakui kebenaran yang engkau katakan?”

“Wahai Abu Bakar, maukah engkau kuceritakan sesuatu, apabila engkau rela aku akan terima, namun jika tidak suka maka aku akan menyimpannya,” jawab Muhammad.

Abu Bakar menjawab, “Ini telingaku, silakan katakan.”

Nabi Saw membacakan beberapa ayat Al-Qur’an kepada Abu Bakar. Beliau juga menceritakan kepadanya tentang wahyu yang turun dan peristiwa di Gua Hira yang beliau alami. Jiwa Abu Bakar telah siap memercayainya, karena kemudahan yang Allah berikan kepadanya dengan pertemanan dan ketulusan pengenalan.

Tanpa ragu, belum sampai Rasulullah Saw menyelesaikan ceritanya, Abu Bakar berbisik lirih, “Aku bersaksi bahwa engkau orang yang jujur. Apa yang engkau serukan adalah kebenaran. Sesungguhnya ini adalah kalam Allah.”

Setelah itu, ia menemui Hakim bin Hizam dan berkata, “Wahai Abu Khalid, kembalikanlah uangku, aku telah menemukan bersama Muhammad bin Abdullah sesuatu yang lebih menguntungkan daripada perniagaan bersamamu.” Abu Bakar mengambil hartanya dan berlalu.

Rasulullah bukan tanpa alasan memilih Abu Bakar menjadi orang kedua setelah dirinya. Suatu hari Rasulullah pernah mengabarkan tentang keutamaan sahabat sekaligus mertua beliau ini. “Tak seorang pun yang pernah kuajak masuk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu ragu dan berhati-hati kecuali Abu Bakar. Ia tidak menunggu-nunggu atau ragu-ragu ketika kusampaikan hal ini,” sabda Rasulullah Saw.

Hal ini pula yang menyebabkan ia dilantik dengan gelar Ash-Shiddiq di belakang namanya. Abu Bakar memang selalu membenarkan Rasulullah tanpa sedikit pun keraguan. Pada peristiwa Isra’ Mikraj, Abu Bakar adalah orang pertama yang percaya saat Rasulullah menyampaikan hal itu. Tanpa setitik pun ada kebimbangan di benaknya.

Abu Bakar memulai misi mulia dalam menyerukan agama Allah, sehingga berkat tangannya, Allah memberikan hidayah-Nya kepada generasi pertama Islam (As-Sabiqunal Awwalun), di mana dengan kesabaran dan kesungguhan mereka membangun Islam.

Ia mulai menyebarkan Islam kepada orang-orang di kaumnya yang ia percayai, orang yang berteman dan duduk bersamanya. Sehingga banyak sekali yang masuk Islam karenanya seperti Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf. Mereka ini berangkat menemui Rasulullah ditemani Abu Bakar. Lalu beliau menawarkan Islam kepada mereka, membacakan Al-Qur'an, menjelaskan kebenaran Islam, hingga mereka beriman.

Betapa mulianya Abu Bakar Ash-Shiddiq yang telah mengislamkan lima dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Umar berkata, “Abu Bakar adalah junjungan kami dan telah memerdekakan junjungan kami, yakni Bilal.”

Ibnu Umar berkata, “Dahulu kami melakukan pemilihan kepada orang-orang pada zaman Nabi Saw masih hidup siapakah yang terbaik, maka kami memilih Abu Bakar dan kemudian Umar bin Khatab dan kemudian Utsman bin Affan.” (HR Bukhari)

Abu Bakar hanya sebentar memegang kendali pemerintahan Islam setelah Rasulullah. Hari itu ia berniat untuk mandi. Udara amat dingin mencekam. Suhu tubuhnya tiba-tiba memanas. Karena merasa janjinya dengan Allah sudah dekat, Abu Bakar ingin menetapkan pengganti setelahnya.

Ia meminta Abdurrahman bin Auf untuk datang. Ketika ditanyakan tentang pribadi Umar bin Khatab, Abdurrahman menjawab, “Ya, Umar lebih tepat, tetapi ia terlalu keras.”

“Ia keras karena melihatku lunak. Kalau urusan ini sudah berada di tangannya, ia akan lunak,” kata Abu Bakar.

Setelah itu, Abu Bakar memanggil beberapa sahabat lainnya, baik dari kaum Anshar maupun Muhajirin. Semua setuju untuk mengangkat Umar sebagai pengganti Abu Bakar. Setelah semuanya bubar, Abu Bakar meminta Utsman bin Affan untuk menulis apa yang didiktekannya. Abu Bakar berkata, “Tuliskan Bismillahirrahmanirrahim. Inilah janji yang diminta Abu Bakar kepada umat Islam...” tiba-tiba Abu Bakar pingsan.

Namun Utsman meneruskan tulisannya: “Sesungguhnya aku mengangkat Umar bin Khatab sebagai penggantiku atas kalian dan aku tidak mengabaikan kebaikan untuk kalian...”

Abu Bakar sadar kembali, lalu meminta Ustman membacakan apa yang dia tulis. Mendengar apa yang dibaca Utsman, Abu Bakar bertakbir. “Engkau menghawatirkan tadi aku akan meninggal sehingga engkau khawatir umat akan berselisih (kalau tidak ada nama yang tertulis)?” tanya Abu Bakar.

Utsman mengiyakan. Panas Abu Bakar kian meningkat. Pada Senin 22 Jumadil Akhir 13 Hijriyah Abu Bakar wafat. Pada detik-detik terakhir hidupnya, Abu Bakar sempat menuliskan menuliskan sebuah wasiat yang diabadikan sejarah.

Demikian isinya: “Bismillahirrahmanirrahim. Inilah pesan Abu Bakar bin Abu Quhafah pada akhir hayatnya dengan keluarnya dari dunia ini, untuk memasuki akhirat dan tinggal di sana. Di tempat ini orang kafir akan percaya, orang durjana akan yakin, dan orang yang berdusta akan membenarkan. Aku menunjuk penggantiku yang akan memimpin kalian adalah Umar bin Khatab.

Patuhi dan taati dia. Aku tidak mengabaikan segala yang baik sebagai kewajibanku kepada Allah, kepada Rasulullah, kepada agama, kepada diriku, dan kepada kamu sekalian. Kalau dia berlaku adil, itulah harapanku, dan itu pula yang kuketahui tentang dia. Tetapi kalau dia berubah, maka setiap orang akan memetik hasil dari perbuatannya sendiri. Yang kuhendaki ialah setiap yang terbaik dan aku tidak mengetahui segala yang gaib. Dan orang yang zalim akan mengetahui perubahan yang mereka alami.”

Semoga Allah menempatkannya pada sisi yang terbaik. Amin.
sumber : republika.co.id

Kisah Sahabat Utsman Bin ‘Affan

Profil Utsman Bin ‘Affan
Khalifah ketiga (memerintah 644-656) dan sahabat yang sangat berjasa pada periode-periode awal pengembangan Islam, baik pada saat Islam dikembangkan secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka. la dijuluki juga dengan Zu an-Nurain (Memiliki Dua Cahaya) karena ia menikah dengan dua orang putri Nabi Muhammad SAW yang bernama Ruqayyah dan Ummu Kalsum.
Utsman Sebelum Masuk Islam
Sebelum masuk Islam, Usman bin Affan dikenal sebagai pedagang besar dan terpandang. Kekayaannya berlimpah ruah. la memeluk Islam atas ajakan Abu Bakar as-Siddiq. Setelah memeluk Islam, dengan penuh kerelaan ia menyerahkan sebagian besar hartanya bagi kepentingan perjuangan Islam. Budak yang teraniaya oleh tangan kafir Kuraisy ditebusnya dengan hartanya. Pada saat terjadi Perang Tabuk melawan Kerajaan Byzantium, Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan dan panglima pasukan merasa kekurangan dana dan makanan untuk mempertahankan diri dari serangan pasukan musuh. Masalah ini dikemukakan oleh Muhammad SAW ke hadapan para sahabatnya. Hal itu ditanggapi secara serius oleh para sahabat. Abu Bakar as-Siddiq menyumbangkan hartanya sejumlah 4.000 dinar, Umar bin Khattab menyum­bangkan setengah hartanya, sementara Usman bin Affan menanggung sepertiga pembiayaan dan dana perang.

Utsman Menjadi Khalifah
Pengangkatan Usman bin Affan menjadi khalifah berlangsung secara baik setelah diadakan musyawarah di antara para sahabat di rumah Abdur­rahman bin Auf. Pelantikannya dilangsungkan pada hari ketiga setelah wafatnya Umar bin Khattab.
Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung dalam dua periode, yaitu periode 6 tahun pertama dan periode 6 tahun kedua. Periode 6 tahun per­tama ditandai oleh berbagai keberhasilan dan kejayaan, sedangkan periode 6 tahun kedua ditandai oleh perpecahan yang tergambar dalam berbagai pergolakan dan pemberontakan dalam negeri.
Perjalanan roda pemerintahan tahun-tahun per­tama dilaksanakan oleh Usman bin Affan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh pendahulunya. Suatu pesan yang disampaikan Umar bin Khattab kepada Usman adalah bahwa wali-wali (gubernur) yang diangkat oleh Umar selama jangka waktu setahun jangan dimutasikan. Pesan ini didasarkan atas kekhawatiran akan terjadinya kegoncangan dan gangguan stabilitas keamanan dan ketenteraman bagi Khalifah sendiri.
Berdasarkan pertimbangan yang matang terhadap pesan Umar bin Khattab, Usman tetap mengukuhkan gubernur untuk wilayah Mesir, Syam (Suriah), dan Irak yang di dalamnya termasuk daerah-daerah Azerbaijan, Armenia dan beberapa daerah lain yang berpusat di kota Kufah, dan Iran yang di dalamnya tercakup daerah Khurasan dengan Basra sebagai pusat pemerintahannya. Gubernur-gubernur itu adalah Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan Abu Musa al-Asyari.
Setelah satu tahun berlalu, pesan yang disampaikan Umar bin Khattab dipatuhi dan dilaksanakan oleh Khalifah Usman. Selanjutnya ia pun mengubah kebijaksanaannya dengan memutasikan hampir semua pejabat yang telah dikukuhkan sebelumnya. Adapun pejabat baru yang diangkat untuk menggantikan pejabat lama, kecuali yang tersebut di atas, berasal dari kaum keluarganya, Bani Umayyah. Kebijaksanaan itu mengantarkan Usman bin Affan ke suatu posisi yang tidak menguntungkan, baik bagi dirinya maupun bagi kepentingan pemerintahan Islam.
Pengangkatan beberapa pejabat yang berasal dari kaum keluarganya telah menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat di beberapa wilayah. Reak­si tersebut tak dapat dibendung Khalifah dan pe­merintahan pusat di Madinah. Satu hal yang belum pernah terjadi pada masa dua khalifah sebelumnya adalah bahwa Usman bin Affan lebih banyak dipengaruhi oleh kaum keluarganya, khususnya Marwan bin Hakam yang diangkatnya sebagai sekretaris negara.
Sejak Usman bin Affan diangkat menjadi kha­lifah, banyak pula permasalahan kebijaksanaan perbendaharaan negara yang muncul. Menurut Usman, khalifah mempunyai wewenang menggunakan kekayaan umum untuk sesuatu yang dipandang sebagai kemaslahatan umat. Selama memangku jabatan, khalifah berhak mengurus kepentingan umum kaum muslimin. Karena itu, khalifah menggunakan kekayaan negara bagi pemenuhan kepen­tingan kemaslahatan umum, baik keluarga maupun dirinya sendiri.
Meskipun demikian, sikap kedermawanan Usman sebagai seorang saudagar kaya yang suka membantu orang lain yang dalam kesusahan, tak dapat dihentikannya sewaktu ia menjabat kepala pemerintahan. Sikap yang demikianlah yang membedakan Usman dari dua khalifah yang telah mendahuluinya.
Kebijaksanaan khalifah dalam penggunaan Baitulmal semata-mata didasarkan atas pertim­bangan ijtihadnya dan tanggung jawabnya kepada Allah SWT. Jabatan khalifah menurut suatu penilaian bukanlah amanat yang diberikan atau dipercayakan oleh orang banyak, tetapi merupakan amanat yang disampaikan Allah SWT kepada salah seorang hamba. Karena itu kebijaksanaan yang diambil haruslah sejalan dengan ketentuan Allah SWT. Disebutkan bahwa pada awal pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq terjadi suatu peperangan yang dilancarkan oleh orang-orang murtad. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Kha­lifah Abu Bakar. Setelah keamanan dalam negeri benar-benar pulih, mulailah Islam bergerak ke luar Semenanjung Arabia, dari belahan Afrika utara sampai ke India. Ke mana saja Islam masuk, di situ pula Al-Qur’an ditinggalkan. Bahkan yang ditinggalkan itu bukanlah semata-mata tulisan Al-Qur’an, akan tetapi juga para penghafalnya. Tulis­an Al-Qur’an yang ditinggalkan itu beragam bentuk dan susunan surat-suratnya, bahkan beragam pula macam bacaan dialeknya. Jika bentuk bacaan dan ragam susunan Al-Qur’an tetap dipertahankan, maka akan datang malapetaka, perselisihan, dan perpecahan dalam kehidupan masyarakat muslim.
Pengumpulan Mushaf Al Quran
Orang yang mula-mula menaruh perhatian terhadap kemungkinan pertikaian yang terjadi di kalangan masyarakat Islam dalam hal bacaan Al-Qur’an adalah Huzaifah bin Yaman. Keadaan yang semacam ini segera disampaikan kepada Khalifah Usman agar mendapatkan penyelesaian. Adapun langkah awal yang diambil oleh Khalifah adalah meminta kumpulan naskah Al-Qur’an yang disimpan Hafsah binti Umar. Naskah ini merupakan suatu kumpulan tulisan Al-Qur’an yang berserakan pada zaman pemerintahan Abu Bakar. Khalifah Usman kemudian membentuk suatu badan atau panitia pembukuan Al-Qur’an, yang anggotanya terdiri dari Zaid bin Sabit sebagai ketua panitia dan Abdullah bin Zubair serta Abdurrahman bin Haris sebagai anggota.
Tugas yang harus dilaksanakan oleh panitia ter­sebut adalah membukukan lembaran-lembaran lepas dengan cara menyalin ulang ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam sebuah buku yang disebut mushaf. Dalam pelaksanaannya, Usman menginstruksikan agar penyalinan tersebut harus berpedoman kepa yang) bacaan mereka yang menghafalkan Al-Qur’an. Seandainya terdapat perbedaan dalam pembacaan, maka yang ditulis adalah yang berdialek Kuraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Kuraisy (Arab).
Salinan kumpulan Al-Qur’an yang dikenal dengan nama al-Mushaf itu, oleh panitia diperbanyak sejumlah lima buah. Sebuah tetap berada di Madinah, dan empat lainnya dikirimkan ke Mekah, Suriah, Basra, dan Kufah. Semua naskah Al-Qur’an yang dikirim ke daerah-daerah itu dijadikan sebagai pedoman dalam penyalinan berikutnya di daerah masing-masing.
Naskah salinan yang ditinggalkan di Madinah disebut Mushaf al Imam. Adapun naskah yang berbeda dengan naskah al-Imam dinyatakan tidak berlaku lagi. Perbedaan bacaan Al-Qur’an masih ditemukan sampai dengan zaman sekarang, apalagi bila dihubungkan dengan adanya hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Al-Qur’an dibaca dalam bentuk tujuh huruf. Hal ini ditolerir, karena bacaan-bacaan tersebut diriwayatkan secara mutawatir.
Sebagai akibat dari tindakan Usman bin Affan tersebut, di dalam masyarakat Islam hanya diperkenankan satu bentuk mushaf Al-Qur’an. Bentuk ini diakui oleh semua golongan yang ada dalam masyarakat muslim, baik Suni maupun Syiah.
Sejak diangkat sebagai semacam menteri sekretaris negara yang mengepalai ad-Dawawin (beberapa dewan), pengaruh Marwan bin Hakam terhadap kebijaksanaan Khalifah makin lama makin besar. Pada akhirnya dialah yang menjadi motor penggerak dan pemegang kekuasaan. Sebagai aki­bat dari kepercayaan besar yang diberikan Khalifah kepada Marwan, muncullah kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahan yang didominasi oleh rasa kekeluargaan. Kenyataan itu tampak pada pengangkatan keluarga sendiri untuk menduduki jabatan tinggi di setiap wilayah serta pengawasan yang longgar terhadap sikap hidup mewah di kalangan para keluarga Marwan bin Hakam dan keluarga Khalifah sendiri. Hal ini melahirkan jurang pemisah yang dalam antara orang kaya dan orang miskin dalam masyarakat muslim.
Kebijaksanaan seperti itu melahirkan berbagai reaksi dalam masyarakat. Pada awalnya reaksi ter­sebut hanya dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan sekelompok masyarakat yang merasa tidak puas. Walaupun demikian keadaan ini dari waktu-kewaktu bertambah besar wujudnya. Akhirnya, reaksi ketidaksenangan terhadap pemerintahan Usman bin Affan menjadi nyata dan berkobar di setiap daerah.
Adapun reaksi yang bersifat terbuka bermula di Irak pada tahun 30 H. Reaksi ini ditujukan kepada Panglima Walid bin Uqbah, gubernur wilayah Irak, Azerbaijan, dan Armenia. Peristiwa ini diawali oleh dijatuhinya hukuman mati terhadap tiga pemuda yang membunuh Ibnu Haisuman al-Khuzai. Hukuman mati tersebut telah mengundang kemarahan Bani Azad, keluarga pemuda yang dihukum, terhadap Walid bin Uqbah.
Sebagaimana di Irak, di Madinah juga timbul pergolakan sebagai akibat munculnya pemberitaan bahwa Khalifah Usman mundur dari kursi peme­rintahan dan akan digantikan oleh Marwan bin Ha­kam. Berita ini menimbulkan reaksi dan tanggapan kurang senang dari setiap wilayah, sehingga mun­cullah suasana yang tak terkendalikan, kecuali di wilayah Suriah yang diperintah oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Awal Munculnya Pemberontakan
Pada tahun 35 H berangkatlah sekitar 500 orang dari Mesir menuju Mekah dengan dalih menunaikan ibadah haji. Adapun tujuan yang sebenarnya adalah mengepung pusat pemerintahan dan memaksa Khalifah untuk melepaskan jabatannya. Beriringan dengan rombongan tersebut, berangkat pula sebuah gerakan dari Kufah dengan jumlah anggota yang sama di bawah pimpinan Asham Amiri dan dari Basra dengan jumlah anggota yang sama pula. Tujuan kedua rombongan ini sama de­ngan rombongan Mesir, yakni penyerangan ter­hadap Khalifah.
Keadaan yang semacam ini memaksa Usman bin Affan untuk mengambil tindakan keras. Akan tetapi, tindakan Usman tersebut mendapat perlawanan pula dari pihak pemberontak. Rombongan dari Mesir mendapat dukungan sebagian masya­rakat muslim yang datang dari Kufah dan Basra.
Tuntutan pemberontak yang datang dari Mesir di bawah pimpinan Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq membuat keadaan tidak menentu. Me­reka menuntut Khalifah untuk menyerahkan Marwan bin Hakam atau Khalifah menyatakan diri mundur dari jabatannya. Satu tuntutan pun tidak mendapat tanggapan dari Khalifah.
Utsman Wafat
Pada hari keempat pengepungan pusat pemerintahan itu, terjadilah suatu peristiwa dan tragedi yang memilukan di dalam sejarah Islam. Usman bin Affan terbunuh di tangan pasukan pemberontak yang datang dari Mesir (al-Gafiki).
sumber:http://birrulwalidainrensing.blogspot.com

Kisah Masuk Islam-nya Umar bin Khattab RA

Umar bin Khattab ra terkenal sebagai orang yang berwatak keras dan bertubuh tegap. Sering kali pada awalnya (sebelum masuk Islam) kaum muslimin mendapatkan perlakukan kasar darinya. Sebenarnya di dalam hati Umar sering berkecamuk perasaan-perasaan yang berlawanan, antara pengagungannya terhadap ajaran nenek moyang, kesenangan terhadap hiburan dan mabuk-mabukan dengan kekagumannya terhadap ketabahan kaum muslimin serta bisikan hatinya bahwa boleh jadi apa yang dibawa oleh Islam itu lebih mulia dan lebih baik.
Sampailah kemudian suatu hari, beliau berjalan dengan pedang terhunus untuk segera menghabisi Rasulullah SAW. Namun di tengah jalan, beliau dihadang oleh Abdullah an-Nahham al-‘Adawi seraya bertanya:
“Hendak kemana engkau ya Umar ?”,
“Aku hendak membunuh Muhammad”, jawabnya.
“Apakah engkau akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhroh jika engkau membunuh Muhammad ?”,
“Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agama asal-mu?”. Tanya Umar.
“Maukah engkau ku tunjukkan yang lebih mengagetkan dari itu wahai Umar, sesungguhnya saudara perempuanmu dan iparmu telah murtad dan telah meninggalkan agamamu”, kata Abdullah.
Setelah mendengar hal tersebut, Umar langsung menuju ke rumah adiknya. Saat itu di dalam rumah tersebut terdapat Khabbab bin Art yang sedang mengajarkan al-Quran kepada keduanya (Fatimah, saudara perempuan Umar dan suaminya). Namun ketika Khabbab merasakan kedatangan Umar, dia segera bersembunyi di balik rumah. Sementara Fatimah, segera menutupi lembaran al-Quran.
Sebelum masuk rumah, rupanya Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya :
“Suara apakah yang tadi saya dengar dari kalian?”,
“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”, jawab mereka
“Pasti kalian telah murtad”, kata Umar dengan geram
“Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu ?”, jawab ipar Umar.
Mendengar jawaban tersebut, Umar langsung menendangnya dengan keras hingga jatuh dan berdarah. Fatimah segera memba-ngunkan suaminya yang berlumuran darah, namun Fatimah pun ditampar dengan keras hingga wajahnya berdarah, maka berkata-lah Fatimah kepada Umar dengan penuh amarah:
“Wahai Umar, jika kebenaran bukan terdapat pada agamamu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah”
Melihat keadaan saudara perempuannya dalam keadaan ber-darah, timbul penyesalan dan rasa malu di hati Umar. Lalu dia meminta lembaran al-Quran tersebut. Namun Fatimah menolaknya seraya mengatakan bahwa Umar najis, dan al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah bersuci. Fatimah memerintahkan Umar untuk mandi jika ingin menyentuh mushaf tersebut dan Umar pun menurutinya.
Setelah mandi, Umar membaca lembaran tersebut, lalu membaca : Bismillahirrahmanirrahim. Kemudian dia berkomentar: “Ini adalah nama-nama yang indah nan suci”
Kemudian beliau terus membaca :
طه
Hingga ayat :
إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني وأقم الصلاة لذكري
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”
(QS. Thaha : 14)
Beliau berkata :
“Betapa indah dan mulianya ucapan ini. Tunjukkan padaku di mana Muhammad”.
Mendengar ucapan tersebut, Khabab bin Art keluar dari balik rumah, seraya berkata: “Bergembiralah wahai Umar, saya berharap bahwa doa Rasulullah SAW pada malam Kamis lalu adalah untukmu, beliau SAW berdoa :
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai; Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam”. Rasulullah SAW sekarang berada di sebuah rumah di kaki bukit Shafa”.
Umar bergegas menuju rumah tersebut seraya membawa pedangnya. Tiba di sana dia mengetuk pintu. Seseorang yang ber-ada di dalamnya, berupaya mengintipnya lewat celah pintu, dilihatnya Umar bin Khattab datang dengan garang bersama pedangnya. Segera dia beritahu Rasulullah SAW, dan merekapun berkumpul. Hamzah bertanya:
“Ada apa ?”.
“Umar” Jawab mereka.
“Umar ?!, bukakan pintu untuknya, jika dia datang membawa kebaikan, kita sambut. Tapi jika dia datang membawa keburukan, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri”.
Rasulullah SAW memberi isyarat agar Hamzah menemui Umar. Lalu Hamzah segera menemui Umar, dan membawanya menemui Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW memegang baju dan gagang pedangnya, lalu ditariknya dengan keras, seraya berkata :
“Engkau wahai Umar, akankah engkau terus begini hingga kehinaan dan adzab Allah diturunakan kepadamu sebagaimana yang dialami oleh Walid bin Mughirah ?, Ya Allah inilah Umar bin Khattab, Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan Umar bin Khattab”.
Maka berkatalah Umar :
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah, dan Engkau adalah Rasulullah .
Kesaksian Umar tersebut disambut gema takbir oleh orang-orang yang berada di dalam rumah saat itu, hingga suaranya terdengar ke Masjidil-Haram.
Masuk Islamnya Umar menimbulkan kegemparan di kalangan orang-orang musyrik, sebaliknya disambut suka cita oleh kaum muslimin.
kisah umar bin khatab ini saya dapatkan ketika saya penasaran dengan kebenaran cerita orang2 tentang keislaman umar. saya pun coba buka google dan menemukan kebenarannya
sumber : windyhm.wordpress.com