Saya sama sekali tidak tertarik mengomentari atau   menyikapi omongan wakil partai itu. Akan jauh lebih bermanfaat untuk   membuka kembali diskursus tentang Negara Islam dari seorang tokoh Islam   Indonesia yang sungguh-sungguh kompeten dan teruji di dalam riwayat   hidupnya. Seorang Muhammad Natsir jelas sangat kompeten untuk itu.
Dalam sejarah Islam Indonesia, salah satu  tonggak  penting adalah ketika terjadi perdebatan ilmiah antara Muhammad  Natsir,  tokoh Partai Masyumi, dengan Soekarno, Presiden pertama rekiplik ini, dalam wacana konsep Negara Islam.
Bagi Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan  dari  negara, karena urusan kenegaraan pada prinsipnya merupakan bagian  yang  terintegrasi dengan risalah Islam. Negara adalah sekumpulan orang  yang  bersatu di dalam suatu teritorial, menyepakati hidup bersama, dan   mengelola wilayah tersebut. Sebab itu, negara juga menjadi soal yang   tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur’an. Natsir mengutip nash Alquran yang   dianggapnya sebagai dasar ideologi Islam, “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (51:   56). Bertitik tolak dari dasar idiologi Islam ini, ia berkesimpulan   bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi   hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak. (Muhammad   Natsir, Capita Selekta, hlm. 436).
Untuk mencapai predikat “hamba Allah”, Allah memberikan aturan kepada manusia.
“Aturan atau cara kita berlaku  berhubungan  dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang  berlaku berhubungan  dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan dan  cara kita yang  berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara  aturan-aturan yang  berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, ada  diberikan  garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak  serta  kewajipan masyarakat terhadap diri seseorang. Yang akhir ini tak   lebih-tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan   kenegaraan.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436).
Menurut  Natsir, ketidakfahaman terhadap negara  Islam, negara yang menyatukan  agama dan politik, pada dasarnya bersumber  dari kekeliruan memahami  gambaran pemerintahan Islam.
“Kalau kita terangkan, bahwa agama dan  negara  harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul duduk  di atas  singgahsana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton tari  “dayang-dayang”.  Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementerian  kerajaan”,  beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang  beginilah gambaran  ‘pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam  kitab-kitab Eropa yang  mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru  bangsa barat selama ini.  Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi  orang Eropa: Chalifah = Harem;  Islam = poligami.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438).
Natsir berkata bahwa bila ingin memahami  agama dan  negara dalam Islam secara jernih, hendaknya kita mampu  menghapuskan  gambaran keliru tentang negara Islam di atas. Secara  implisit Natsir  menilai bahwa gambaran “negara Islam” seperti inilah  yang terdapat dalam  pandangan Soekarno maupun Kemal Attaturk.
Berbeda  dengan kebanyakan orang yang menganggap  pencapaian suatu negara Islam  adalah tujuan akhir, bagi Natsir, hal itu  adalah keliru. Negara  bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat  untuk merealisasikan  aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Alquran dan  sunah. 
Semua aturan-aturan Islam itu, Natsir  menyebutkan di antaranya  kewajiban belajar, kewajiban zakat,  pemberantasan perzinaan, dan  lain-lain, tidak ada artinya manakala  tidak ada negara. Negara di sini  berfungsi sebagai alat untuk mencapai  tujuan “kesempurnaan berlakunya  undang-undang ilahi, baik yang  berkenaan dengan kehidupan manusia  sendiri (sebagai individu) ataupun  sebagai anggota masyarakat.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 442).
Islam adalah ruh dan tindakan, bukan alat jualan
Negara  Islam tidak harus bernama “Negara Islam”,  namun negara Islam cukuplah  disebut dengan istilah mulia itu jika di  dalam mengatur masyarakatnya  di dasari oleh nilai-nilai yang islami,  dimana amanah rakyat  benar-benar diemban oleh para pejabatnya dan bukan  malah dikhianati  seperti halnya yang terjadi di Indonesia sekarang ini.  
Natsir juga menegaskan, terhadap penguasa  negara  terpilih, umat wajib mengikutinya selama ia benar dalam  menjalankan  kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan  koreksi atau  mengingkari penguasa negara. Dalam masalah ini, Islam  menekankan  kewajiban musyawarah tentang hak dan kewajiban antara  penguasa dan yang  dikuasai. Prinsip musyawarah dalam Islam, menurut  Natsir, tidak selalu  identik dengan asas demokrasi.
Hal ini terlihat saat Natsir menanggapi  pernyataan  Soekarno yang menghendaki agar demokrasi dijadikan  alternatif bila  timbul persoalan tentang berpisahnya agama dan negara.  Natsir  mengemukakan bahwa Islam anti-istibdad (despotisme),  anti-absolutisme,  dan kesewenang-wenangan. Akan tetapi, ini tidak  berarti bahwa dalam  pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan  kepada keputusan  musyawarah Majelis Syura. 
Dalam parlemen negara Islam, yang hanya  boleh  dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syariat   Islam), tetapi bukan dasar pemerintahannya, karena dasar pemerintahan   atau bahkan dasar kehidupan seorang Muslim hanyalah al-Qur’an dan   hadits, bukan yang lainnya. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 452).
Natsir mengakui demokrasi itu baik, tetapi  sistem  kenegaraan Islam tidaklah mengandalkan semua urusannya kepada  instrumen  demokrasi, sebab demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya  yang  terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi  dari  abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik.  Akan  tetapi, demokrasi juga melekat pada dirinya pelbagai sifat-sifat   berbahaya.
Natsir juga menolak adanya  pemimpin umat Islam  selain Muhammad SAW. “Islam tidak kenal kepada  ‘Kepala Agama’ seperti  Paus atau Patriarch. 
Islam hanya mengenal satu ‘Kepala Agama’,  ialah  Muhammad Rasulullah saw. Beliau sudah wafat dan tidak ada  gantinya lagi  untuk selama-lamanya. ‘Kepala Agama’ yang bernama  Muhammad ini telah  meninggalkan satu sistem yang bernama Islam, yang  harus dijalankan oleh  kaum muslimin, dan harus dipelihara dan dijaga  supaya dijalankan  ‘kepala-kepala keduniaan’ (bergelar raja, chalifah,  presiden, atau  lain-lain) yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum  muslimin.  Sahabat-sahabat Nabi yang pernah memegang kekuasaan negara  sesudah  Rasulullah saw. seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali tidaklah  merangkap  jadi ‘Kepala Agama’. Mereka itu hanyalah ‘kepala keduniaan’  yang  menjadikan pemerintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan  oleh  ‘Kepala Agama’, yaitu oleh Muhammad Rasulullah yang penghabisan  itu,  lain tidak!” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 470).
Jadi jelas, Islam di mata seorang pejuang  dakwah  seperti Muhammad Natsir, adalah Islam yang sempurna dan  menyeluruh.  Sikap seorang Muslim seperti Natsir hanya bisa dicapai jika  seorang  Muslim itu benar dalam akidahnya, lurus dalam manhajnya, dan  amanah  dalam memelihara keimanannya.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar