Rabu, 09 Oktober 2013

asal usul suku BAJO

Suku Bajo atau Bajau. Ini salah satu suku yang menguasai Perairan Teluk Tomini-Sulawesi Tengah. Di samping ada suku Togian, Saluan, Bobongko dan Ta’a. Masih ada suku Bugis, Gorontalo, Toraja dan sebagainya, dalam jumlah yang lebih sedikit dari lima suku besar tadi.



Asal-usul suku Bajo di Perairan ****an-Teluk Tomoni, pada hakekatnya masih baru. Namun, berkembang cukup pesat di sejumlah pulau-pulau kecil di daerah tersebut. Hal itu tak lepas dari adanya perintah sakti Raja Johor-Malaysia.

Konon Suku Bajo berasal dari Johor. Bajo kepanjangan dari Bangsa Johor, salah satu negara bagian di Malayasia. Entah tahun berapa persisnya, suatu waktu anak Raja Johor, Putri Papu, mandi di sungai. Sewaktu sedang mandi, air bah datang dan menghanyutkan puti Papu.

Sang Raja menunggu Putri Papu pulang mandi. Tidak juga muncul. Hingga akhirnya ia sadar kalau putri kesayangannya telah hanyut dibawa air hingga ke laut. Sang Raja sangat mencintai anaknya itu. Ia pun mengultimatum semua warga Johor untuk mencari Putri Papu sampai ketemu.

Quote:
Quote:
“Jika tidak ditemukan, tidak boleh kembali ke daratan. Jika kembali, tapi tidak menemukan Putri Papu, mereka akan dibunuh oleh raja,” cerita Pou Jafar, seorang tetua adat Suku Bajo di Pulau Selaka.
Pou Jafar masih menyimpan foto copy perintah Raja Johor yang ditulis dalam huruf Arab Melayu itu. Ia menyimpan tulisan itu, meski sudah kumal. “Ini dulu surat perintah. Ditulis lontar,” kata Pou sambil menunjukkan surat perintah sakti itu.

Sayang, tidak ada satupun orang Bajo yang bisa menemukan Putri Papu. Hingga ke seluruh dunia mereka mencari, tidak ditemukan. Berbulan-bulan, bertahun-tahun dan memakasi abad lamanya, juga tidak ditemukan.

Diperistrikan Anak Raja Bone
Keberuntungan justru didapat anak Raja Bone-Sulawesi Selatan. Suatu hari, Putra Raja Bone mandi di pinggir pantai di Kota Makassar. Tiba-tiba ia melihat potongan kayu yang menyerupai manusia dari kejauhan. Tepat di gulungan pecahan ombak.

Putra Raja mendekat. Melihat sesuatu yang diduga kayu. Ternyata yang ada dalam gulungan ombak itu adalah dara cantik. Ia mengangkat dan memeluk dara cantik itu. Ia menyapa, namun dara itu tidak menyahut.

Parasnya yang cantik dan masih muda belia, membuat Putra Raja memangkunya hingga ke Istana Raja.

Menurut Kepala Desa Kabalutuan, Syaiful Sofyan, juga seorang tokoh muda masyarakat adat Bajo, Raja Bone memiliki perasaan campur aduk melihat anaknya memangku seorang putri cantik masuk ke dalam rumah. Mereka bertanya kepada dara cantik itu, dari mana asal-usul, siapa namanya, kenapa bisa bergulung-gulung dalam ombak dan sebagainya. Namun, dara cantik itu tetap enggan menjawab.

Quote:
Namun demikian, Raja Bone tetap memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan dara cantik itu. Hingga tiba waktunya, perempuan muda itu hamil dan melahirkan seorang bayi. Tidak diceritakan dengan detail, apakah bayi yang dilahirkan seorang laki-laki atau perempuan, setidaknya versi Pou Jafar dan Syaiful Sofyan.

Bayi itu tumbuh sehat dan segar. Namun, suatu waktu bayi itu menangis entah apa sebabnya. Perempuan beranak satu itu berusaha meninabobokan dengan mendayung dan menggoyang dalam pangkuan. Sang bayi enggan untuk diam. Ia membawanya keluar masuk rumah untuk mendapat suasana yang teduh. Juga tidak mempan.

Ibu muda itupun marah. Ia mengeluarkan sekalimat dalam bahasa Johor-Melayu yang kira-kira berarti. “Kamu ini keturunan Johor. Diamlah!” kalimat itu didengar oleh mertua laki-lakinya, yang ternyata terus memantau pergerakan anak mantunya itu.

Bayi itu pun diam. Sang Raja jadi tahu, mantunya dari Johor. Ia memanggil anak mantu yang cantik itu, untuk mamastikan lagi asal-usul yang sudah disebutkannya. Dari situlah ia tahu kalau ibu muda itu anak seorang raja, yang punya peran dan kedudukan sama.

“Raja Bone sudah mengirim surat ke Raja Johor kalau anaknya ditemukan oleh anaknya. Sudah dinikahkan dengan anaknya juga. Tapi, bukan orang Bajo yang temukan,” kata Syaiful. Raja Johor pun membalas surat Raja Bone tersebut.

Pulang Berarti Mati
Sayang, orang Bajo tetap tak dibolehkan pulang. Perintahnya adalah membawa Putri Papu pulang. Perintah itu sudah mungkin untuk dipenuhi. Namun, perintah itu mematikan. Pulang tanpa membawa Putri Papu artinya menerima kematian. Tak ingin mati, membuat suku Bajo, menyebar ke mana-mana, tak ingin kembali ke Johor.

Kedatangan suku Bajo ke Kepulauan ****an diperkirakan terjadi sekitar tahun 1800-an. Menurut catatan, mereka pertama kali tiba di Pulau Kabalutan, yang kemudian menyebar lagi ke Pulau Enam, Milok, Kulingkinari, Siatu, Selaka, Pulau Papan, dan Panabali.


Mereka awalnya tiba di Bajoe-Sulawesi Selatan, namun kemudian migrasi ke Perairan Tomoni dibawah pimpinan Punggawa Keneng.

Semula semua mereka adalah satu keluarga. Namun kemudian berkembang karena terjadi pernikahan di antara sesama mereka hingga kemudian beranak-pinak seperti sekarang.

Orang Bajo dulunya memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah, mengembara mengarungi lautan dengan perahunya. Hal itu tak lepas dari sejarah mencari Putri Papu tadi. Namun, sejalan dengan perkembangan waktu, sebagian dari mereka mulai menetap.

Kini melaut menjadi darah daging orang Bajo. Mereka menyutu dengan laut, hidup dan mati di laut. “Masyarakat adat Bajo tidak bisa hidup di daratan. Ini soal prinsip hidup, adat budaya dan kepercayaan masyarakat Bajo. Harta kami ada di laut,” ujar Syaiful Sofyan.
sumber : vivanewsforum.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar