Profil Utsman Bin ‘Affan
Khalifah ketiga (memerintah 644-656) dan sahabat yang sangat berjasa 
pada periode-periode awal pengembangan Islam, baik pada saat Islam 
dikembangkan secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka. la dijuluki
 juga dengan Zu an-Nurain (Memiliki Dua Cahaya) karena ia menikah dengan
 dua orang putri Nabi Muhammad SAW yang bernama Ruqayyah dan Ummu 
Kalsum.
Utsman Sebelum Masuk Islam
Sebelum masuk Islam, Usman bin Affan dikenal sebagai pedagang besar dan 
terpandang. Kekayaannya berlimpah ruah. la memeluk Islam atas ajakan Abu
 Bakar as-Siddiq. Setelah memeluk Islam, dengan penuh kerelaan ia 
menyerahkan sebagian besar hartanya bagi kepentingan perjuangan Islam. 
Budak yang teraniaya oleh tangan kafir Kuraisy ditebusnya dengan 
hartanya. Pada saat terjadi Perang Tabuk melawan Kerajaan Byzantium, 
Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan dan panglima pasukan merasa 
kekurangan dana dan makanan untuk mempertahankan diri dari serangan 
pasukan musuh. Masalah ini dikemukakan oleh Muhammad SAW ke hadapan para
 sahabatnya. Hal itu ditanggapi secara serius oleh para sahabat. Abu 
Bakar as-Siddiq menyumbangkan hartanya sejumlah 4.000 dinar, Umar bin 
Khattab menyumbangkan setengah hartanya, sementara Usman bin Affan 
menanggung sepertiga pembiayaan dan dana perang.
Utsman Menjadi Khalifah
Pengangkatan Usman bin Affan menjadi khalifah berlangsung secara baik 
setelah diadakan musyawarah di antara para sahabat di rumah  
Abdurrahman bin Auf. Pelantikannya dilangsungkan pada hari ketiga 
setelah wafatnya Umar bin Khattab.
Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung dalam dua periode, yaitu 
periode 6 tahun pertama dan periode 6 tahun kedua. Periode 6 tahun 
pertama ditandai oleh berbagai keberhasilan dan kejayaan, sedangkan 
periode 6 tahun kedua ditandai oleh perpecahan yang tergambar dalam 
berbagai pergolakan dan pemberontakan dalam negeri.
Perjalanan roda pemerintahan tahun-tahun pertama dilaksanakan oleh 
Usman bin Affan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh 
pendahulunya. Suatu pesan yang disampaikan Umar bin Khattab kepada Usman
 adalah bahwa wali-wali (gubernur) yang diangkat oleh Umar selama jangka
 waktu setahun jangan dimutasikan. Pesan ini didasarkan atas 
kekhawatiran akan terjadinya kegoncangan dan gangguan stabilitas 
keamanan dan ketenteraman bagi Khalifah sendiri.
Berdasarkan pertimbangan yang matang terhadap pesan Umar bin Khattab,
 Usman tetap mengukuhkan gubernur untuk wilayah Mesir, Syam (Suriah), 
dan Irak yang di dalamnya termasuk daerah-daerah Azerbaijan, Armenia dan
 beberapa daerah lain yang berpusat di kota Kufah, dan Iran yang di 
dalamnya tercakup daerah Khurasan dengan Basra sebagai pusat 
pemerintahannya. Gubernur-gubernur itu adalah Amr bin As, Mu’awiyah bin 
Abu Sufyan, dan Abu Musa al-Asyari.
Setelah satu tahun berlalu, pesan yang disampaikan Umar bin Khattab 
dipatuhi dan dilaksanakan oleh Khalifah Usman. Selanjutnya ia pun 
mengubah kebijaksanaannya dengan memutasikan hampir semua pejabat yang 
telah dikukuhkan sebelumnya. Adapun pejabat baru yang diangkat untuk 
menggantikan pejabat lama, kecuali yang tersebut di atas, berasal dari 
kaum keluarganya, Bani Umayyah. Kebijaksanaan itu mengantarkan Usman bin
 Affan ke suatu posisi yang tidak menguntungkan, baik bagi dirinya 
maupun bagi kepentingan pemerintahan Islam.
Pengangkatan beberapa pejabat yang berasal dari kaum keluarganya 
telah menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat di beberapa wilayah. 
Reaksi tersebut tak dapat dibendung Khalifah dan pemerintahan pusat di
 Madinah. Satu hal yang belum pernah terjadi pada masa dua khalifah 
sebelumnya adalah bahwa Usman bin Affan lebih banyak dipengaruhi oleh 
kaum keluarganya, khususnya Marwan bin Hakam yang diangkatnya sebagai 
sekretaris negara.
Sejak Usman bin Affan diangkat menjadi khalifah, banyak pula 
permasalahan kebijaksanaan perbendaharaan negara yang muncul. Menurut 
Usman, khalifah mempunyai wewenang menggunakan kekayaan umum untuk 
sesuatu yang dipandang sebagai kemaslahatan umat. Selama memangku 
jabatan, khalifah berhak mengurus kepentingan umum kaum muslimin. Karena
 itu, khalifah menggunakan kekayaan negara bagi pemenuhan kepentingan 
kemaslahatan umum, baik keluarga maupun dirinya sendiri.
Meskipun demikian, sikap kedermawanan Usman sebagai seorang saudagar 
kaya yang suka membantu orang lain yang dalam kesusahan, tak dapat 
dihentikannya sewaktu ia menjabat kepala pemerintahan. Sikap yang 
demikianlah yang membedakan Usman dari dua khalifah yang telah 
mendahuluinya.
Kebijaksanaan khalifah dalam penggunaan Baitulmal semata-mata 
didasarkan atas pertimbangan ijtihadnya dan tanggung jawabnya kepada 
Allah SWT. Jabatan khalifah menurut suatu penilaian bukanlah amanat yang
 diberikan atau dipercayakan oleh orang banyak, tetapi merupakan amanat 
yang disampaikan Allah SWT kepada salah seorang hamba. Karena itu 
kebijaksanaan yang diambil haruslah sejalan dengan ketentuan Allah SWT. 
Disebutkan bahwa pada awal pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq terjadi 
suatu peperangan yang dilancarkan oleh orang-orang murtad. Pemberontakan
 tersebut dapat dipadamkan oleh Khalifah Abu Bakar. Setelah keamanan 
dalam negeri benar-benar pulih, mulailah Islam bergerak ke luar 
Semenanjung Arabia, dari belahan Afrika utara sampai ke India. Ke mana 
saja Islam masuk, di situ pula Al-Qur’an ditinggalkan. Bahkan yang 
ditinggalkan itu bukanlah semata-mata tulisan Al-Qur’an, akan tetapi 
juga para penghafalnya. Tulisan Al-Qur’an yang ditinggalkan itu beragam
 bentuk dan susunan surat-suratnya, bahkan beragam pula macam bacaan 
dialeknya. Jika bentuk bacaan dan ragam susunan Al-Qur’an tetap 
dipertahankan, maka akan datang malapetaka, perselisihan, dan perpecahan
 dalam kehidupan masyarakat muslim.
Pengumpulan Mushaf Al Quran
Orang yang mula-mula menaruh perhatian terhadap kemungkinan pertikaian 
yang terjadi di kalangan masyarakat Islam dalam hal bacaan Al-Qur’an 
adalah Huzaifah bin Yaman. Keadaan yang semacam ini segera disampaikan 
kepada Khalifah Usman agar mendapatkan penyelesaian. Adapun langkah awal
 yang diambil oleh Khalifah adalah meminta kumpulan naskah Al-Qur’an 
yang disimpan Hafsah binti Umar. Naskah ini merupakan suatu kumpulan 
tulisan Al-Qur’an yang berserakan pada zaman pemerintahan Abu Bakar. 
Khalifah Usman kemudian membentuk suatu badan atau panitia pembukuan 
Al-Qur’an, yang anggotanya terdiri dari Zaid bin Sabit sebagai ketua 
panitia dan Abdullah bin Zubair serta Abdurrahman bin Haris sebagai 
anggota.
Tugas yang harus dilaksanakan oleh panitia tersebut adalah 
membukukan lembaran-lembaran lepas dengan cara menyalin ulang ayat-ayat 
Al-Qur’an ke dalam sebuah buku yang disebut mushaf. Dalam 
pelaksanaannya, Usman menginstruksikan agar penyalinan tersebut harus 
berpedoman kepa yang) bacaan mereka yang menghafalkan Al-Qur’an. 
Seandainya terdapat perbedaan dalam pembacaan, maka yang ditulis adalah 
yang berdialek Kuraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Kuraisy
 (Arab).
Salinan kumpulan Al-Qur’an yang dikenal dengan nama al-Mushaf itu, oleh panitia diperbanyak sejumlah lima buah.
 Sebuah tetap berada di Madinah, dan empat lainnya dikirimkan ke Mekah, 
Suriah, Basra, dan Kufah. Semua naskah Al-Qur’an yang dikirim ke 
daerah-daerah itu dijadikan sebagai pedoman dalam penyalinan berikutnya 
di daerah masing-masing.
Naskah salinan yang ditinggalkan di Madinah disebut Mushaf al Imam.
 Adapun naskah yang berbeda dengan naskah al-Imam dinyatakan tidak 
berlaku lagi. Perbedaan bacaan Al-Qur’an masih ditemukan sampai dengan 
zaman sekarang, apalagi bila dihubungkan dengan adanya hadis Nabi SAW 
yang menyatakan bahwa Al-Qur’an dibaca dalam bentuk tujuh huruf. Hal ini
 ditolerir, karena bacaan-bacaan tersebut diriwayatkan secara mutawatir.
Sebagai akibat dari tindakan Usman bin Affan tersebut, di dalam 
masyarakat Islam hanya diperkenankan satu bentuk mushaf Al-Qur’an. 
Bentuk ini diakui oleh semua golongan yang ada dalam masyarakat muslim, 
baik Suni maupun Syiah.
Sejak diangkat sebagai semacam menteri sekretaris negara yang 
mengepalai ad-Dawawin (beberapa dewan), pengaruh Marwan bin Hakam 
terhadap kebijaksanaan Khalifah makin lama makin besar. Pada akhirnya 
dialah yang menjadi motor penggerak dan pemegang kekuasaan. Sebagai 
akibat dari kepercayaan besar yang diberikan Khalifah kepada Marwan, 
muncullah kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahan yang didominasi oleh 
rasa kekeluargaan. Kenyataan itu tampak pada pengangkatan keluarga 
sendiri untuk menduduki jabatan tinggi di setiap wilayah serta 
pengawasan yang longgar terhadap sikap hidup mewah di kalangan para 
keluarga Marwan bin Hakam dan keluarga Khalifah sendiri. Hal ini 
melahirkan jurang pemisah yang dalam antara orang kaya dan orang miskin 
dalam masyarakat muslim.
Kebijaksanaan seperti itu melahirkan berbagai reaksi dalam 
masyarakat. Pada awalnya reaksi tersebut hanya dalam bentuk 
pembicaraan-pembicaraan sekelompok masyarakat yang merasa tidak puas. 
Walaupun demikian keadaan ini dari waktu-kewaktu bertambah besar 
wujudnya. Akhirnya, reaksi ketidaksenangan terhadap pemerintahan Usman 
bin Affan menjadi nyata dan berkobar di setiap daerah.
Adapun reaksi yang bersifat terbuka bermula di Irak pada tahun 30 H. 
Reaksi ini ditujukan kepada Panglima Walid bin Uqbah, gubernur wilayah 
Irak, Azerbaijan, dan Armenia. Peristiwa ini diawali oleh dijatuhinya 
hukuman mati terhadap tiga pemuda yang membunuh Ibnu Haisuman al-Khuzai.
 Hukuman mati tersebut telah mengundang kemarahan Bani Azad, keluarga 
pemuda yang dihukum, terhadap Walid bin Uqbah.
Sebagaimana di Irak, di Madinah juga timbul pergolakan sebagai akibat
 munculnya pemberitaan bahwa Khalifah Usman mundur dari kursi 
pemerintahan dan akan digantikan oleh Marwan bin Hakam. Berita ini 
menimbulkan reaksi dan tanggapan kurang senang dari setiap wilayah, 
sehingga muncullah suasana yang tak terkendalikan, kecuali di wilayah 
Suriah yang diperintah oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Awal Munculnya Pemberontakan
Pada tahun 35 H berangkatlah sekitar 500 orang dari Mesir menuju Mekah 
dengan dalih menunaikan ibadah haji. Adapun tujuan yang sebenarnya 
adalah mengepung pusat pemerintahan dan memaksa Khalifah untuk 
melepaskan jabatannya. Beriringan dengan rombongan tersebut, berangkat 
pula sebuah gerakan dari Kufah dengan jumlah anggota yang sama di bawah 
pimpinan Asham Amiri dan dari Basra dengan jumlah anggota yang sama 
pula. Tujuan kedua rombongan ini sama dengan rombongan Mesir, yakni 
penyerangan terhadap Khalifah.
Keadaan yang semacam ini memaksa Usman bin Affan untuk mengambil 
tindakan keras. Akan tetapi, tindakan Usman tersebut mendapat perlawanan
 pula dari pihak pemberontak. Rombongan dari Mesir mendapat dukungan 
sebagian masyarakat muslim yang datang dari Kufah dan Basra.
Tuntutan pemberontak yang datang dari Mesir di bawah pimpinan 
Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq membuat keadaan tidak menentu. Mereka 
menuntut Khalifah untuk menyerahkan Marwan bin Hakam atau Khalifah 
menyatakan diri mundur dari jabatannya. Satu tuntutan pun tidak mendapat
 tanggapan dari Khalifah. 
Utsman Wafat
Pada hari keempat pengepungan pusat pemerintahan itu, terjadilah suatu 
peristiwa dan tragedi yang memilukan di dalam sejarah Islam. Usman bin 
Affan terbunuh di tangan pasukan pemberontak yang datang dari Mesir 
(al-Gafiki).
sumber:http://birrulwalidainrensing.blogspot.com 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar